Dinginnya udara malam telah membuat seorang gadis menurunkan lengan
jaketnya yang semula ia gulung. Ia termenung. Entah apa yang telah terjadi pada
hidupnya. Menurutnya, suasana tenangnya malam disebuah taman kota adalah
satu-satunya tempat yang paling nyaman untuknya menyendiri. Mungkin, hanya
sekedar suara jangkrik yang dapat ditangkap oleh telinganya. Bukan karena tidak
ingin ditemani ataupun diganggu oleh orang lain, ia hanya merasa kalau rasa
sakit didalam hatinya bukan untuk dibagi kepada siapapun. Dan ia juga tidak
ingin orang lain tahu kalau dirinya sedang terluka.
Suasana malam yang mencekam sama sekali tidak membuat tubuhnya
bergeming. Semilir angin yang menerpa wajahnya tidak membuatnya bergidik
sedikitpun. Itu semua tidak penting untuk ia rasakan saat ini, ia hanya berfokus
pada satu rasa yang berada dihatinya.
Ia lelah, sangat lelah. Tetapi, mau bagaimana lagi? Apa lagi yang bisa
ia lakukan? Apakah mengeluh itu akan berguna? Apakah mengeluh itu dapat merubah
segalanya? Atau setidaknya, apakah mengeluh itu bisa meringankan rasa sakitnya?
Tentu saja, tidak.
Matanya terpejam seiringan dengan bulir air mata pertamanya yang
menetes malam ini. Ia bukanlah seorang gadis yang lemah, ia hanya seorang gadis
yang rapuh. Seorang gadis yang terlalu lelah menahan ribuan bulir air mata yang
menggenang dipelupuk matanya. Menangis itu... sebuah simbol. Simbol yang
menggambarkan seluruh ucapan ataupun tindakan yang sudah tidak bisa lagi dilakukan.
Kedua tangannya menyekat air mata yang mengalir dipipinya dengan kasar.
Bahkan, ia membenci dirinya sendiri yang dengan mudahnya membuang air mata hanya
untuk seorang pemuda diluar sana. Seorang pemuda yang mungkin tidak peduli lagi
dengan dirinya.
Seharusnya, pemuda itu membuatnya tertawa bahagia. Ya, memang pemuda
itu harus membuatnya tertawa bahagia karena ia adalah kekasihnya. Bukankah memang
itu tugas dari seorang pemuda untuk kekasihnya? Seperti... Menjaga gadisnya, mendekap
gadisnya, mengecup lembut kening gadisnya, membuat gadisnya tertawa, dan
membuat gadisnya merasa aman. Tidak seperti dirinya sekarang ini, menangis disebuah
taman kota dengan iringan suara jangkrik dan dibalut udara malam yang kejam.
Pernah terlintas dibenaknya untuk meninggalkan pemuda itu. Tetapi, hal
itu tidak mudah untuk dilakukannya. Ia mencintainya. Rasa cinta itu terlalu
kuat. Dan ia terlalu lemah karena rasa cintanya itu. Ia tidak berdaya dan ia
tidak ingin mematahkan hidupnya jika kehilangan seorang kekasih yang sangat
dicintainya itu.
Bodoh! Ia mengakui kebodohan dirinya sendiri yang memilih untuk
bertahan dan berharap kekasihnya itu bisa kembali seperti dulu lagi. Dulu... saat
dimana ia terlelap dalam dekapannya. Entah hal apa yang membuat kekasihnya itu
berubah menjadi sekarang ini. Rasanya begitu dingin, hingga membuat lidahnya
kelu.
Sedetik kemudian ia mengangkat kepalanya untuk menatap bulan yang
menurutnya menatap balik dirinya. Ia lebih baik memilih untuk berbicara kepada
bulan dibandingkan berbicara dengan pemuda itu, kekasihnya. Baginya, ada atau
tidak ada kekasihnya itu sudah tidak berpengaruh lagi untuk dirinya. Sudah terbiasa,
sangat terbiasa. Ia pun sudah mampu berdamai dengan rasa sakitnya.
Ia hanya mampu berharap, kalau suatu saat kekasihnya
itu bisa mencintainya sama seperti ia mencintainya. “Tanpa kamu... aku tidak
tahu harus melakukan apa pada hidupku” ucap gadis itu. Suaranya terdengar lirih,
terlalu lirih hingga membuat setiap orang yang mendengarnya tersayat.