Kamis, 19 September 2013

Tanpa Kamu...


Dinginnya udara malam telah membuat seorang gadis menurunkan lengan jaketnya yang semula ia gulung. Ia termenung. Entah apa yang telah terjadi pada hidupnya. Menurutnya, suasana tenangnya malam disebuah taman kota adalah satu-satunya tempat yang paling nyaman untuknya menyendiri. Mungkin, hanya sekedar suara jangkrik yang dapat ditangkap oleh telinganya. Bukan karena tidak ingin ditemani ataupun diganggu oleh orang lain, ia hanya merasa kalau rasa sakit didalam hatinya bukan untuk dibagi kepada siapapun. Dan ia juga tidak ingin orang lain tahu kalau dirinya sedang terluka.
Suasana malam yang mencekam sama sekali tidak membuat tubuhnya bergeming. Semilir angin yang menerpa wajahnya tidak membuatnya bergidik sedikitpun. Itu semua tidak penting untuk ia rasakan saat ini, ia hanya berfokus pada satu rasa yang berada dihatinya.
Ia lelah, sangat lelah. Tetapi, mau bagaimana lagi? Apa lagi yang bisa ia lakukan? Apakah mengeluh itu akan berguna? Apakah mengeluh itu dapat merubah segalanya? Atau setidaknya, apakah mengeluh itu bisa meringankan rasa sakitnya? Tentu saja, tidak.
Matanya terpejam seiringan dengan bulir air mata pertamanya yang menetes malam ini. Ia bukanlah seorang gadis yang lemah, ia hanya seorang gadis yang rapuh. Seorang gadis yang terlalu lelah menahan ribuan bulir air mata yang menggenang dipelupuk matanya. Menangis itu... sebuah simbol. Simbol yang menggambarkan seluruh ucapan ataupun tindakan yang sudah tidak bisa lagi dilakukan.
Kedua tangannya menyekat air mata yang mengalir dipipinya dengan kasar. Bahkan, ia membenci dirinya sendiri yang dengan mudahnya membuang air mata hanya untuk seorang pemuda diluar sana. Seorang pemuda yang mungkin tidak peduli lagi dengan dirinya.
Seharusnya, pemuda itu membuatnya tertawa bahagia. Ya, memang pemuda itu harus membuatnya tertawa bahagia karena ia adalah kekasihnya. Bukankah memang itu tugas dari seorang pemuda untuk kekasihnya? Seperti... Menjaga gadisnya, mendekap gadisnya, mengecup lembut kening gadisnya, membuat gadisnya tertawa, dan membuat gadisnya merasa aman. Tidak seperti dirinya sekarang ini, menangis disebuah taman kota dengan iringan suara jangkrik dan dibalut udara malam yang kejam.
Pernah terlintas dibenaknya untuk meninggalkan pemuda itu. Tetapi, hal itu tidak mudah untuk dilakukannya. Ia mencintainya. Rasa cinta itu terlalu kuat. Dan ia terlalu lemah karena rasa cintanya itu. Ia tidak berdaya dan ia tidak ingin mematahkan hidupnya jika kehilangan seorang kekasih yang sangat dicintainya itu.
Bodoh! Ia mengakui kebodohan dirinya sendiri yang memilih untuk bertahan dan berharap kekasihnya itu bisa kembali seperti dulu lagi. Dulu... saat dimana ia terlelap dalam dekapannya. Entah hal apa yang membuat kekasihnya itu berubah menjadi sekarang ini. Rasanya begitu dingin, hingga membuat lidahnya kelu.
Sedetik kemudian ia mengangkat kepalanya untuk menatap bulan yang menurutnya menatap balik dirinya. Ia lebih baik memilih untuk berbicara kepada bulan dibandingkan berbicara dengan pemuda itu, kekasihnya. Baginya, ada atau tidak ada kekasihnya itu sudah tidak berpengaruh lagi untuk dirinya. Sudah terbiasa, sangat terbiasa. Ia pun sudah mampu berdamai dengan rasa sakitnya.
Ia hanya mampu berharap, kalau suatu saat kekasihnya itu bisa mencintainya sama seperti ia mencintainya. “Tanpa kamu... aku tidak tahu harus melakukan apa pada hidupku” ucap gadis itu. Suaranya terdengar lirih, terlalu lirih hingga membuat setiap orang yang mendengarnya tersayat.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar