Sunyi, senyap, sepi, begitulah gambaran malam saat itu. Dinginnya hembusan angin malam yang menerpa uraian rambut seorang gadis yang tengah duduk tenang pada sebuah bangku taman. Tenang? Tentu saja mereka tidak mengetahui dirinya yang sedang bergelut dengan pikirannya, berperang melawan hatinya, dan bergejolak dengan perasaannya. Matanya terlihat sayu, tidak ada cahaya kehidupan didalamnya. Mungkin sudah terenggut secara paksa oleh seseorang yang ia percayai. Ya, seseorang yang seharusnya memberikan ratusan ton kebahagian untuknya. Bukan jutaan ton kesedihan.
Kenapa?
Apa
yang telah dilakukannya sehingga kebahagiaan yang seharusnya ia miliki itu
berubah menjadi kesedihan yang datang berlawanan dengan keinginannya?
Kapan
ia bisa merasakan kembali kebahagiaan itu? Atau...
Bagaimana
jika kebahagiaan itu tidak akan pernah kembali?
Tangan
mungilnya bergetar menghapus bulir air mata yg menjalar dipipinya. Begitu banyak
pertanyaan terlintas didalam pikirannya, yang jelas saja ia sadari tidak akan
pernah ada jawaban untuk pertanyaannya itu. Rahangnya terkunci, sudah tidak
perlu lagi ia berbicara. Kalaupun perlu, tidak ada kalimat yang menggambarkan
maksud hatinya saat itu. Ia mengalihkan pandangannya dari danau dihadapannya
dan menghela nafas. Entah sudah berapa ribu kali ia menghela nafas hari itu. Dengan
kepalanya yang masih tertunduk, ia bermain dengan jari-jarinya. Membayangkan jika
saja seseorang yg ia percayai itu masih bisa melengkapi kekosongan jari-jarinya,
menggenggam erat tangannya. Merasakan kehangatan berada digenggaman tangannya. Tetapi
semua itu sudah tidak bermakna lagi. Tidak memiliki arti apa-apa lagi. Karena
semua hal yang pernah ia inginkan telah terbakar habis menjadi abu. Bahkan tak
tersisa.
Untuk
apa ia mempertahankannya kalau saja seseorang itu tidak peduli dengan
perasaannya saat itu. Dan sekarang, sudah saatnya ia belajar melepaskan apa yang
tidak pantas untuk ia miliki. Karena seharusnya ia mempertahankan apa yang
memang pantas untuk dirinya pertahankan. Dan seharusnya juga ia memperjuangkan
seseorang yang juga memperjuangkan dirinya. Rumit memang, tetapi bukankah tidak
ada yg sederhana didunia ini?
Ia
mengangkat kepalanya, dan menggulung lengan jaketnya yg semula ia biarkan
begitu saja. Dinginnya angin dan kejamnya malam telah membuatnya beku, membuat
lidahnya kelu, dan membuatnya semakin membenci pilihan hidupnya.
Hidup
itu memang pilihan, dan tentu saja pilihan itu selalu berbanding terbalik.
Tidak
bisakah ia membekukan perasaannya seperti angin malam yang membekukan dirinya?
Semula,
ia tidak ingin kehilangan seseorang itu. Ia terlalu penting dihidupnya, terlalu
istimewa dihatinya, dan terlalu indah dimatanya. Dan gadis itu tidak tahu apa
yang akan ia lakukan dihidupnya jika tidak ada kehadiran dirinya. Namun ternyata
semua itu hanya omong kosong.
Bertahan
dengannya sama saja dengan menggenggam bilah pisau. Ia memang menyayangi pemuda
itu, tetapi ia masih memiliki rasa sayang yang besar terhadap dirinya sendiri. Semakin
parah perasaan dan pemikirannya yg sedang berperang. Ia tidak tahu apa yang sedang
terjadi. Disatu sisi ia hanya ingin berada dipelukan seorang pemuda itu saat
ini. Ia hanya ingin merasakan lengannya yang mendekap erat tubuh mungilnya. Tetapi
disisi lain, ia hanya ingin berlari menjauh dari dirinya. Hanya ingin berlari,
terus berlari walaupun tanpa arah hanya untuk menyelamatkan dirinya dari rasa
sakit yang kian waktu kian membesar. Dan melebar.
Gadis
itu pun terdiam. Sedikitpun tidak bergeming. Matanya menatap jauh pada
pepohonan dibalik gelapnya malam. Apakah menyerah dan menyelesaikan itu
memiliki arti yang sama?
Matanya
masih terus memandang jauh kedepan, tatapannya kosong. Tidak memiliki arti
apapun. Segalanya. Rasanya sungguh begitu berat, seperti ada sesuatu yang
menekan dadanya dengan keras hingga membuat sesak relung hatinya. Seandainya ia
memiliki pilihan, sebuah pilihan lain yang membawa gadis itu pada seseorang
yang telah ia berikan seluruh kepercayaan padanya.
Jiwanya
memang sedikit terguncang saat itu. Mungkin karena satu hal yang ia anggap akan
menjadi sesuatu yang sangat indah, berubah menjadi sebuah malapetaka yang
mengejar hidupnya. Mungkin hidupku akan jauh lebih baik kalau tidak ada lagi
pemuda itu didalamnya.
Apakah
kamu pernah merasakan bagaimana rasanya jika orang yang paling kamu cintai berjanji
untuk tidak akan pernah melepaskanmu tetapi disaat itu pula lah ia
meninggalkanmu? Sakit memang, tetapi mau bagaimana lagi? Bukankah mengikhlaskan
itu juga perlu?
Ia
menyelesaikannya, bukan menyerahkannya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar