Selasa, 17 Maret 2015

Selesai Atau Menyerah?


Sunyi, senyap, sepi, begitulah gambaran malam saat itu. Dinginnya hembusan angin malam yang menerpa uraian rambut seorang gadis yang tengah duduk tenang pada sebuah bangku taman. Tenang? Tentu saja mereka tidak mengetahui dirinya yang sedang bergelut dengan pikirannya, berperang melawan hatinya, dan bergejolak dengan perasaannya. Matanya terlihat sayu, tidak ada cahaya kehidupan didalamnya. Mungkin sudah terenggut secara paksa oleh seseorang yang ia percayai. Ya, seseorang yang seharusnya memberikan ratusan ton kebahagian untuknya. Bukan jutaan ton kesedihan.
Kenapa?

Apa yang telah dilakukannya sehingga kebahagiaan yang seharusnya ia miliki itu berubah menjadi kesedihan yang datang berlawanan dengan keinginannya?

Kapan ia bisa merasakan kembali kebahagiaan itu? Atau...

Bagaimana jika kebahagiaan itu tidak akan pernah kembali?



Tangan mungilnya bergetar menghapus bulir air mata yg menjalar dipipinya. Begitu banyak pertanyaan terlintas didalam pikirannya, yang jelas saja ia sadari tidak akan pernah ada jawaban untuk pertanyaannya itu. Rahangnya terkunci, sudah tidak perlu lagi ia berbicara. Kalaupun perlu, tidak ada kalimat yang menggambarkan maksud hatinya saat itu. Ia mengalihkan pandangannya dari danau dihadapannya dan menghela nafas. Entah sudah berapa ribu kali ia menghela nafas hari itu. Dengan kepalanya yang masih tertunduk, ia bermain dengan jari-jarinya. Membayangkan jika saja seseorang yg ia percayai itu masih bisa melengkapi kekosongan jari-jarinya, menggenggam erat tangannya. Merasakan kehangatan berada digenggaman tangannya. Tetapi semua itu sudah tidak bermakna lagi. Tidak memiliki arti apa-apa lagi. Karena semua hal yang pernah ia inginkan telah terbakar habis menjadi abu. Bahkan tak tersisa.

Untuk apa ia mempertahankannya kalau saja seseorang itu tidak peduli dengan perasaannya saat itu. Dan sekarang, sudah saatnya ia belajar melepaskan apa yang tidak pantas untuk ia miliki. Karena seharusnya ia mempertahankan apa yang memang pantas untuk dirinya pertahankan. Dan seharusnya juga ia memperjuangkan seseorang yang juga memperjuangkan dirinya. Rumit memang, tetapi bukankah tidak ada yg sederhana didunia ini?

Ia mengangkat kepalanya, dan menggulung lengan jaketnya yg semula ia biarkan begitu saja. Dinginnya angin dan kejamnya malam telah membuatnya beku, membuat lidahnya kelu, dan membuatnya semakin membenci pilihan hidupnya.

Hidup itu memang pilihan, dan tentu saja pilihan itu selalu berbanding terbalik.

Tidak bisakah ia membekukan perasaannya seperti angin malam yang membekukan dirinya?

Semula, ia tidak ingin kehilangan seseorang itu. Ia terlalu penting dihidupnya, terlalu istimewa dihatinya, dan terlalu indah dimatanya. Dan gadis itu tidak tahu apa yang akan ia lakukan dihidupnya jika tidak ada kehadiran dirinya. Namun ternyata semua itu hanya omong kosong.

Bertahan dengannya sama saja dengan menggenggam bilah pisau. Ia memang menyayangi pemuda itu, tetapi ia masih memiliki rasa sayang yang besar terhadap dirinya sendiri. Semakin parah perasaan dan pemikirannya yg sedang berperang. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Disatu sisi ia hanya ingin berada dipelukan seorang pemuda itu saat ini. Ia hanya ingin merasakan lengannya yang mendekap erat tubuh mungilnya. Tetapi disisi lain, ia hanya ingin berlari menjauh dari dirinya. Hanya ingin berlari, terus berlari walaupun tanpa arah hanya untuk menyelamatkan dirinya dari rasa sakit yang kian waktu kian membesar. Dan melebar.

Gadis itu pun terdiam. Sedikitpun tidak bergeming. Matanya menatap jauh pada pepohonan dibalik gelapnya malam. Apakah menyerah dan menyelesaikan itu memiliki arti yang sama?

Matanya masih terus memandang jauh kedepan, tatapannya kosong. Tidak memiliki arti apapun. Segalanya. Rasanya sungguh begitu berat, seperti ada sesuatu yang menekan dadanya dengan keras hingga membuat sesak relung hatinya. Seandainya ia memiliki pilihan, sebuah pilihan lain yang membawa gadis itu pada seseorang yang telah ia berikan seluruh kepercayaan padanya.

Jiwanya memang sedikit terguncang saat itu. Mungkin karena satu hal yang ia anggap akan menjadi sesuatu yang sangat indah, berubah menjadi sebuah malapetaka yang mengejar hidupnya. Mungkin hidupku akan jauh lebih baik kalau tidak ada lagi pemuda itu didalamnya.

Apakah kamu pernah merasakan bagaimana rasanya jika orang yang paling kamu cintai berjanji untuk tidak akan pernah melepaskanmu tetapi disaat itu pula lah ia meninggalkanmu? Sakit memang, tetapi mau bagaimana lagi? Bukankah mengikhlaskan itu juga perlu?

Ia menyelesaikannya, bukan menyerahkannya.




“Paling tidak salah satu dari kita sudah mampu mengatakan menyerah, semua selesai.” - Clara Debora

Tidak ada komentar :

Posting Komentar