Selasa, 04 Agustus 2015

Secangkir Teh Hangat dan Hujan



Sekilat cahaya yang datang dengan tiba-tiba membuatnya kembali fokus pada apa yang ada dihadapannya. Disana, tepat dibalik jendela dan meja bundar kecil itu terlihat seorang gadis yang terduduk manis dengan secangkir teh hangat di genggamannya. Ia mengalihkan tatapannya dari bulir-bulir air hujan yang mengalir deras di kaca jendela pada secangkir teh yang masih memiliki kepulan asap putih diatasnya. Belum tersentuh sedikitpun teh itu oleh bibirnya, ia hanya menatap kepulan putih itu dengan begitu banyak perasaan yang berkecamuk didalam dirinya, memaksa keluar dari dalam hatinya, dan memancar melewati bola mata indah miliknya.
Gadis itu semakin mengeratkan jemarinya pada cangkir klasik berwarna coklat tua saat telinganya menangkap suara gemuruh yang cukup keras. Seolah mengerti dengan keadaannya, cangkir itu mengalirkan sensasi hangat yang menjalar seketika pada sekujur tubuhnya. Seakan memeluk balik erat gadis itu. Ia menghela nafas, untuk yang kesekian kalinya saat ia terduduk dibalik jendela itu. Entahlah, ia sudah tidak menghitungnya lagi. It doesn’t matter anymore.
Tatapannya kembali merujuk pada jendela dihadapannya, mengamati bulir hujan yang memberi sedikit ketenangan pada pikirannya yang kacau. 
Sesakit ini kah jatuh cinta? Bukan kah mereka mengatakan kalau cinta itu indah? Lantas, apa rasa sesak direlung hatinya ini pantas disebut indah? Lalu, sudah berapa banyak hati yang tersakiti oleh hal yang mereka sebut cinta?

Lidahnya terasa kelu, tubuhnya pun terasa kaku saat gadis itu tersadar kalau pertanyaan yang berlarian dipikirannya tidak akan pernah terselesaikan. Ataupun terjawab. Dan helaan nafas itu pun kembali terdengar, entah berapa kali lagi nafas yang harus ia hela demi meredakan rasa sakit akibat goresan cinta itu. Jatuhnya sebulir air pada sela jarinya kembali menyadarkan ia dari pikirannya.

Apakah bulir air hujan itu sampai ke jarinya? Mengapa penglihatannya menjadi semakin mengabur?

Gadis itu tersenyum miris melihat bulir air mata disela jari lentiknya. Ternyata ia tidak sendiri, ia ditemani oleh kesedihannya. Teman yang selalu setia menemani dirinya beberapa waktu ini. Menangislah, aku akan disini merangkul jiwamu, ucapnya. Dan tidak memerlukan waktu yang lama untuk mendapati lebih banyak bulir air mata disela-sela jarinya.

Dimana Dia? Dia yang memiliki tatapan sehangat matahari pagi dan senyuman secerah cahaya senja? Dia yang datang dengan suara tawanya yang mampu membuat gadis itu melakukan apa saja hanya untuk mendengar suara itu? Dia yang datang dan lalu pergi begitu saja secepat kedipan mata, Dia yang berjanji untuk membuatnya selalu tersenyum. He’s promised, but its gone.

Ia menyeka air matanya dengan tangan yang bergetar, mendekatkan secangkir teh pada bibirnya dan menyesap dengan perasaan yang kalut. Dingin. Ia melempar tatapannya pada jendela dihadapannya, menyadari bulir-bulir itu telah berubah menjadi rintik-rintik kecil. Kosong. Ya, teh dan hujan telah memberikan gambaran pada dirinya saat itu. Dingin dan kosong. Matanya menerawang jauh menembus kaca jendela, seakan ia dapat melihat dunia di luar sana dan berpikir tentang hidupnya yang terlalu miris, dramatis.

Apakah ia satu-satunya orang yang merasa terkhianati oleh cinta? Adakah seseorang di luar sana yang memiliki takdir sama seperti dirinya? Sudah berapa banyak air mata yang jatuh hanya karena hal bodoh yang mereka sebut cinta?

Dan lagi, gadis itu tersadar. Ia tidak akan pernah mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan yang bergelut didalam pikirannya. Gadis itu tidak lemah, hanya sedikit rapuh. Dan ia tidak meminta untuk jatuh cinta. Karena cinta itu tidak indah, sama sekali tidak. Keindahan itu akan terasa jika kita yang menciptakannya, dan akan terlihat jika kita yang melukiskannya. So, yeah, love is the strongest pain in this world.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar